Seni
Rajah dalam Extravaganza
oleh Maylan Sofian
081322317046
Pendahuluan
Berbicara
wilayah kreativitas dalam seni tidak ada batasan. Baik secara penyajian atau
pengemasan yang berakar dari seni tradisi diolah sedemikian rupa sehigga
melahirkan “genre baru”. factor kelahiran itu semua tidak terlepas dari latar
belakang budaya dibalik “seniman” itu sendiri. tidak menutup kemungkunan akan
terjadi suatu “genre baru” lagi apabila latar belakang budaya terjdai
pergeseran budaya dikarenakan sifat dari budaya yang dinamis. salah satu bentuk
sajian yang terjadi pergeseran fungsi karena kedinamisan budaya adalah rajah
yang disajikan dalam bagian dari parody dalam program acara sketsa
extravaganza. ada satu hal yang menarik di dalamnya yang melatarbelakangi penulis
untuk mengangkat phenomena ini, yaitu pada syair rajah yang disajikan.
A. Latar
Belakang Budaya
Jawa
Barat spesifikasinya lagi Sunda. budaya huma atau peladang sudah lama
keberadaannya. namun sejak ekspensi Mataram ke Jawa Barat, maka budaya huma
atau peladang pun mulai digantikan dengan budaya sawah. Pada budaya peladang
dan sawah (agraris) kental sekali dengan “gaib”. sebagaimana dipaparkan dalam
suatu sumber yakni mereka percaya bahwa padi dan tanah masing-masing ada
pemiliknya yaitu yang disebut gaib atau roh halus (Abun Somawijaya, 1996:35-36).
maka dalam setiap pertunjukan selalu ada atau disempalkan salah satunya rajah
(biasanya pada awal pertunjukan) yang berfungsi untuk minta izin, doa kepada
Yang Maha Kuasa agar diberikan kelancaran selama jalannya pertunjukan tersebut.
Lian
halnya dengan perkembangan dari budaya agraris yang bergeser menjadi budaya
industri. kalau di budaya agraris sarat akan magis atau spiritual, tetapi dalam
budaya industri lebih kearah factor ekonomi atau materil. karena perubahan atau
pergeseran budaya tersebut, maka banyak seni sebagai media ritual beralih
fungsi menjadi entertainment atau hiburan. sehingga munculah istilah art by
order (seni berdasarkan permintaan).
B. Kreativitas
Tidak
ada batasan apabila berbicara di wilayah kreativitas. Namun secara esensi pastinya
ada batasan tertentu, terutama apabila kita berbicara pada wilayah “seni
tradisi di Sunda”. salah satu yang menjadi kritikan penulis diambil dari kasus
sebuah sketsa dalam extravaganza. Dimana di dalamnya terdapat rajah dalam
struktur parodinya. Titik kritik yang kami tuju lebih kearah syair yang
disajikan. Syair yang disajikan pada acara tersebut lebih kearah entertainment
atau hiburan, jauh dengan syair yang disajikan pada rajah biasanya. Sebagaimana
dalam suatau sumber bahwa rajah merupakan lagu pembukaan dalam pementasan
pantun Sunda, sebagai pengantar dengan maksud untuk mohon izin, maaf dan
penghormatan pada leluhur agar selamat menjalankan suatu pagelaran (Atik
Sopandi,1988:166).
berdasarkan
pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa ada esensi sacral didalam syair
dan rajah tersebut. Dapat kita analisa lebih lanjut pada contoh syair rajah di
bawah ini :
karya
: NN
Pun sapun kanu Maha Agung
Kun payakun jleg ngadeg lar gumelar
Sakur kersana kawasana
Dilangit pating karetip
Di bumi pating kulisaik
Gumelik dialam lahir
Bari muji sihing
Gusti ayatna Alhamdulillah 2X
Rajah dua, dua rajah
Rajah medal maling Allah
Dina hate anu masket dian iman dina
Islam
Nabi Muhammad kitabna Qur’an Nur
Karim
Nu Agung Allahu akbar
dari
satu contoh syair rajah tersebut jelas sekali terdapat sesuatu esensi sacral
didalamnya. Permasalahan yang timbul dari bentuk kreativitas ini ada dua sisi.
satu sisi ada sisi popsitifnya dimana rajah akan lebih dikenal luas masyarakat,
dan jauhnya lagi pastinya mengangkat harkat derajat dari seni tradisi yang kian
tenggelam keberadaannya. Namun disatu sisi ada sisi negatifnya dimana syair
yang disajikan sedikit banyaknya menghilangkan esensi dari pada syair dan rajah
itu sendiri. Karena dalam rajah yang paling menonjol terletak pada bagian syair
atau liriknya tersebut. Penulis tidak terlalu mengangkat kekhawatiran, namun
hanya sebatas memberikan informasi dan perlu adanya pertimbangan dalam
berkarya. karena sudah banyak yang mengkambing hitamkan seni ataupun
kreativitas itu sendiri.
Dalam
rajah terdapat take and give diantara yang diciptakan dengan penciptanya, yakni
rasa menghargai, penghormatan. Sebagaimana Ma’mur Danasasmita dalam sebuah
bukunya memaparkan bahwa sebagai para Rahyang, raja-raja yang telah wafat itu
tentu sangat dihormati dan di keramatkan. Mereka para leluhur yang dipandang
sebagai pelindung yang patut diminta berkat atau restu dan dihindari
kemurkaannya. “Suasana kekeramatan” ini melahirkan rajah dalam pantun Sunda
(2001:139).
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abun Somawijaya.1996.“Kasanah Musik Bambu”.
Laporan Penelitian, ASTI Bandung
2.
Atik Sopandi.1996.KAMUS KARAWITAN. Bandung :
STSI PRESS
3.
Ma’mur Danasasmita.2001.Wacana Bahasa dan
Sastra Lama Sunda. Bandung : STSI PRESS
0 comments:
Post a Comment