Seni Tradisi Versus Agama

  • Posted by Miranda
  • at Friday, December 07, 2012 -
  • 0 comments

GEJALA  KEPUNAHAN SENI PERTUNJUKAN TRADISI DI JAWA BARAT 
OLEH POLITIK AGAMA PADA ERA REFORMASI

A.    Pendahuluan
Sudah menjadi kewajaran sebuah kebudayaan bukanlah statis, melainkan bersifat dinamis. Kebudayaan tidak pernah mandeg, dia selalu berkembang mengikuti kemajuan jaman. Begitu juga seni mengalami perkembangan menyesuaikan juga dengan situasi dan kondisi jaman yang terus melaju. Sebab seni merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu 1) Sistem kepercayaan, 2) Sistem pengetahuan. 3) Perlengkapan hidup manusia, 4) Sistem ekonomi (Mata pencaharian), 5) Sistem kemasyarakatan, 6) Bahasa, 7) Seni. (Koentjaraningrat: 1990: 203). Seni yang bisa menyesuaikan jaman akan terjaga eksistensinya. Sedangkan seni yang tidak bisa menyesuaikan perkembangan zaman tinggal menunggu waktu kepunahannya. Gejala kepunahan seni ini terasa sekali pada jenis seni tradisi terutama seni pertunjukan tradisi.
Di Jawa Barat, seni pertunjukan tradisi yang bisa beradaptasi dengan perkembangan jaman menggunakan filsafat : ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman. Kesenian tradisi yang bisa bereksistensi ini terutama jenis kesenian helaran seperti Kuda Ronggeng, Sisingaan. Atau kesenian tradisi yang bisa dibuat berbau pariwisata. Sedangkan kesenian tradisi yang sifatnya religi susah untuk mengikuti perubahan jaman. Karena kesenian ini menggunakan pakem-pakem yang ketat dan tidak mau melanggar pakem-pakem tersebut. Takut kualat kalau melanggar. Contoh kesenian jenis ini adalah Tarawangsa Cibalongan dari kabupaten Tasikmalaya.
Di era reformasi, setelah bergulirnya demokrasi dan otonomi daerah, keberadaan seni pertunjukan tradisi bagaikan dua sisi mata uang yang saling bertentangan. Satu sisi bisa jadi menguntungkan, satu sisi bisa jadi merugikan. Satu sisi yang menguntungkan adalah kebijakan otonomi daerah yang membuat setiap daerah otonomi memunculkan identitasnya yaitu seni budaya daerah masing-masing. Sedangkan sisi yang merugikan adalah munculnya politik agama yang cenderung sempit wawasan sosiologi antropologi terhadap seni budaya daerahnya.
Era reformasi adalah era demokrasi yang mengedepankan otonomi daerah. Setiap daerah otonomi (kabupaten/kota) mempunyai wewenang mengelola daerahnya masing-masing yang lebih besar di banding jaman Orde Baru. Dan setiap daerah otonomi berhak juga memilih kepala daerah masing-masing. Tentu saja kepala daerah ini ditentukan melalui mekanisme demokrasi yaitu pilkada. Dan sebagian besar yang menjadi kepala daerah ini adalah orang-orang dari kepartaian. Setiap partai mempunyai ideologi masing-masing. Ketika sebuah partai berbasis agama menguasai atau memenangi pilkada/pemilu maka terjadilah benturan-benturan dengan seni budaya khususnya seni pertunjukan tradisi. Benturan-benturan itu ada yang muncul dipermukaan dan ada yang masih mengendap saja. Benturan-benturan ini mengancam eksistensi atau keberadaan seni pertunjukan tradisi.

B.     Contoh-contoh Kasus
1.      3G (Geol, Gitek, Goyang) dalam Tari Jaipongan 
Pada Tahun 2009 di bulan Februari, Ahmad Heryawan menginstruksikan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Herdiwan agar adanya pembatasan terhadap Tari Jaipong, terutama dalam aspek 3G (Geol,Gitek,Goyang). Setidaknya mereka menginstruksikan agar ketiak penari tertutup untuk menghindari unsur gerakan-gerakan tersebut dalam ruang geraknya. Seperti yang tercatat dalam website Detik.com, bahwasanya dengan menutupi sedikit, tidak akan mengurangi keindahan tari jaipong itu sendiri.
Hal itu dinilai berlawanan oleh masyarakatnya sendiri. Hal tersebut dipandang ironis, apabila muncul Surat Keputusan yang semakin menenggelamkan kesenian tersebut, yang memang pada saat ini sudah mulai dilupakan. Apalagi sudah menjadi suatu bagian dari identitas sebuah tarian khas jawa barat. Terutama pada Jaipong Bajidoran yang berkembang di Subang dan Kerawang.
3G dan busana dimasalahkan oleh Gubernur Jabar, karena penampakan secara visual tari jaipong  menonjolkan aurat. Menurut hukum Islam, aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh kelihatan.  Pembagian aurat pria dan wanita berbeda. Khususnya aurat wanita meliputi seluruh tubuh kecuali bagian muka dan telapak tangan. Nah, atas nama norma agama itulah Gubernur Jabar menghimbau 3G dan busana tari jaipong yang tampak nyata menonjolkan aurat itu untuk diperhalus. Gubernur tersebut berani melontarkan himbauan tentunya dilandasi nalar agama, karena berhaluan politik dengan posisinya sebagai fungsionaris dari sebuah  partai politik berbasis agama. Di tingkat struktural sendiri memang terjadi persepsi wacana yang bertolak belakang. Gubernurnya memasalahkan tari Jaipong, sedang Wakil Gubernur Dede Yusuf (latar belakang aktor) malah tidak.   
Masyarakat yang menjadi penikmat seni merupakan kelompok sosial yang heterogen, terdiri dari berbagai golongan, antara lain: guru seni, kritikus, konglomerat, birokrat, masyarakat awam yang menyukai seni, dan para seniman itu sendiri. Jika masyarakat yang heterogen itu melihat pertunjukan, tentu masing-masing golongan  akan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas yang dimilki. 
Dosen Tari STSI, Nanu Muda berkomentar Goyang, gitek, geol (3G) merupakan ruh dari jaipongan. 3G dalam tarian tradisional sunda tersebut bukan untuk mengumbar seksualitas, namun sebatas teknik tarian.
"Jaipongan adalah ungkapan masyarakat agraris, ada melak dan ngala (tanam dan memetik). Iramanya lambat atau cepat. Gerakan lambat wujud kesabaran saat menanam karena harus menunggu agak lama hingga berbuah, dan gerakan cepat wujud sara syukur. Itu filosofisnya," jelasnya.
Menurutnya orang yang membatasi gerak tarian jaipongan karena tak tahu dasar filosofisnya. "Goyang itu lambang kesuburan. Jangan hanya lihat geraknya saja, tapi juga maknanya," tegasnya pada detik.com
Nanu menyatakan tak perlu ada batasan goyang, gitek, dan geol para penari. Sebab, dengan sendirinya para penari itu akan menyesuaikan dengan teks dan konteksnya. "Juga soal pakaian, pasti akan disesuaikan dengan keadaan saat dia menari," ujarnya.
Menurut Nanu para seniman berkesenian pun berlandaskan estetika dan etika. "Imbauan ini seolah-olah kami para seniman tak tahu sopan santun dan amoral," ketusnya. (Sumber detik.com)
2.      Kasus sintren yang disinyalir musrik
Ini terjadi ketika Istri Gubernur Ahmad Heriyawan, yaitu Hj. Netty, beliau menghadiri roadshow “Gerakan Membaca” di Gedung Korpri, Cirebon. Saat acara itu, dipentaskan seni tradisional Cirebon, yaitu Sintren Kathir. Dalam seni itu ada tarian seorang perempuan, ada beberapa laki-laki dengan memakai kostum hitam-hitam di sekitarnya, ada peran dukun dan membakar kemenyan. Tentu saja diiringi musik tradisional Cirebon. Konon, ketika akan berlangsung acara saweran (melempar uang ke penari), terlontar ucapan Ny. Netty (isteri Gubernur Jawa Barat), bahwa seni sintren itu musyrik. Meskipun telah ada klarifaksi dari Ny. Netty tersebut, hal ini masih saja menjadi perdebatan bahwa kesenian-kesenian warisan leluhur yang selalu menjadi pertentangan dengan pola kehidupan masyarakat yang semakin berkembang.
3.      Kasus berikutnya adalah seni Tarawangsa Cibalongan.
Kasus seni Tarawangsa Cibalongan ini benturannya memang belum muncul dipermukaan tetapi gejala benturannya terasa mengantar kepunahan tinggal menunggu waktu. Gejala kepunahan seni ini dipicu oleh dua hal yaitu pertama; seleksi alami, kedua; pemerintah membiarkan atau mencue’kannya. Sebab pertama seleksi alami yaitu regenerasi yang gagal sehingga putus tali kesinambungan seni tarawangsa ini. Karena mereka generasi terakhir terutama seniman yang memegang waditra (alat musik) tarawangsa dan jentreng yang sekaligus sebagai penembang adalah berusia tua rata-rata 80-an umurnya dan tidak ada generasi muda penerusnya. Saat penulis menonton kesenian Tarawangsa Cibalongan di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat pada hari Sabtu tanggal 9 Juni 2012 melihat para pemegang alat musiknya sudah berumur semua, cuma para penarinya saja yang masih muda. Menurut Agus AW budayawan Tasikmalaya mengatakan bahwa anak muda yang mengikuti atau meneruskan kesenian ini tidak pada kuat mengikuti syarat-syarat yang diajukan oleh kokolot untuk menjadi seniman tarawangsa ini.
Kedua pemerintah daerah membiarkan kesenian Tarawangsa Cibalongan ini dan tidak ada upaya-upaya menjaga eksistensi kesenian ini. Kenapa sampai terjadi pembiaran ini? Menurut Agus AW karena kesenian tarawangsa Cibalongan ini tidak sesuai dengan visi misi Kabupaten Tasikmalaya yang religius Islami. Kesenian Tarawangsa yang “memuja” Dewi Sri yaitu dewi padi dianggap tidak sesuai dengan visi misi kabupaten Tadikmalaya tersebut. Memang kesenian Tarawangsa ini berasal dari tradisi sebelum Islam masuk ke tanah Pasundan. Dimana masyarakat jaman dulu di tanah Pasundan percaya bahwa padi berasal dari Dewi Sri. Maka diadakannya upacara ritual setelah panen sebagai rasa syukur kepada pencipta padi yaitu Dewi Sri. Hal ini dianggap menyalahi ideologi agama Islam, maka ridak perlu dilestarikan kesenian ini. Dengan demikian melihat kondisi ini kira-kira 20 tahun ke depan seni Tarawangsa ini bisa diprediksi punah.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat. Yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, seni Tarawangsa yang disajikan menggunakan alat atau instrumen tarawangsa, jentreng, dan dua buah calung renteng. Panembang atau penyanyi dibawakan oleh seorang perempuan yang sekaligus memainkan jentreng. Sedangkan dalam kesenian Tarawangsa yang berasal dari daerah Rancakalong Sumedang dan beberapa tempat lainnya tidak menggunakan instrumen calung renteng.
Kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan berisi tentang persembahan atau penghormatan terhadap Dewi Sri atau dewi padi, kepada alam, dan terhadap kehidupan itu sendiri. Nada-nada yang dimainkan dalam kesenian tersebut cenderung tetap atau ostinato dan berisi pengulangan atau repetisi secara terus-menerus. Hal demikian mampu menjadikan manusia memasuki wilayah trance jika menyaksikan pertunjukan kesenian tersebut secara langsung dan larut di dalamnya. Tari-tarian yang disuguhkan menyiratkan tentang isi atau makna yang sangat mendalam, termasuk eksistensi dari kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan kini.
Yang menjadi kekhawatiran di sini adalah eksistensi dari kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan. Kesenian tersebut tidak teregenerasi dengan baik, bahkan nyaris punah. Selain ketidaktertarikan generasi muda di daerah terkait terhadap kesenian Calung Tarawangssa Cibalongan, pemerintah setempat pun mempunyai kebijakan dalam penghapusan unsur-unsur agama non Islam pada berbagai bentuk kesenian. Memang pada kenyataannya, kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan memiliki muatan tentang penghormatan terhadap Dewi Sri atau dewi padi, seperti pada kesenian Tarawangsa pada umumnya. Dan hal tersebut tidak sesuai dengan syariat agama Islam yang dianut oleh masyarakat kabupaten Tasikmalaya kini.
Walaupun demikian, kesenian tetaplah kesenian, ia berdiri utuh secara integral. Seharusnya pemerintah kabupaten Tasikmalaya lebih bijak dalam menyikapi persoalan eksistensi kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan tersebut. Perbedaan keyakinan dan perbedaan tata cara peribadatan seharusnya tidak menjadi halangan dalam menjaga keselarasan umat beragama, begitu pun dalam kesenian. Jika hal yang disampaikan dalam suatu bentuk kesenian pada intinya memiliki substansi yang baik, maka seharusnya hal yang baik itu patut dipertahankan. Karena keyakinan beragama merupakan hal yang sangat pribadi yang dimiliki oleh setiap manusia, tidak bisa dipaksakan dari satu individu kepada individu yang lainnya.
Selain itu, peralihan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri menjadi salah satu faktor yang memperkuat tidak berlangsungnya regenerasi kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan di kabupaten Tasikmalaya. Anak muda lebih senang bekerja di pabrik-pabrik atau pergi ke kota besar dengan berbagai tujuan ketimbang menjadi petani. Memang pada kenyataannya menjadi petani di Indonesia tidaklah mudah, terlebih jika hanya menjadi pekerja atau buruh tani. Berbeda halnya dengan para cukong atau pengusaha tani yang menumpuk kekayaannya dari hasil keringat buruh tani. Pesatnya kemajuan teknologi pun semakin memperkuat generasi muda untuk tidak menyentuh kesenian atau hal-hal yang bersifat tradisional. Sistem kapitalisme yang kini semakin kuat membuat generasi muda lebih memilih menjadi masyarakat yang konsumtif, ketimbang menjaga dan mengembangkan apa-apa yang dimiliki atau diwariskan oleh leluhurnya.
Dan salah satu bukti bahwa kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan memiliki eksistensi yang tidak teregenerasi dengan baik adalah seperti apa yang terjadi pada pergelaran kesenian tersebut di Taman Budaya Jawa Barat pada tanggal 9 Juni 2012. Pemain dari kesenian tersebut sudah tua-tua, walaupun para penarinya masih muda, tetapi terlihat sekali bahwa itu hanya berupa sentuhan penyajian secara teatrikal, dan bukan merupakan penyajian unsur-unsur dari kesenian Tarawangsa pada umumnya. Tidak terdapatnya sesaji dan durasi dari penyajian kesenian tersebut merupakan bukti bahwa pergelaran tersebut merupakan rekontruksi sebuah teatrikal saja. Atmospere yang dibangun terasa biasa saja, karena seharusnya pertunjukan kesenian Tarawangsa pada umumnya harus dilakukan dan disaksikan di tempat yang aslinya ia berada, dengan segala elemen dan unsur-unsur pendukung kesenian tersebut.
Kalau seandainya kondisi reformasi berjalan seperti ini yaitu para pemimpin daerah tidak memahami sosiologi dan antropologi serta kebudayaan daerahnya maka reformasi menciptakan sejarah kepunahan seni pertunjukan tradisi semakin cepat. Adakah solusinya? Sebetulnya solusinya tinggal kita membaca ulang sejarah negeri kita, terutama sejarah jaman wali songo. Jaman wali songo inilah terjadi reformasi seni budaya yang cukup berhasil. Terciptalah wayang kulit (golek) seperti sekarang ini. Terciptakanlah gamelan selengkap seperti sekarang ini. Cerita Ramayana dan mahabarata yang berbau kehinduan direformasi menjadi berideologi keislaman. Hal ini terlihat dari silsilah wayang yang bermuara pada nabi Adam. Dewa-dewa dijadikan manusia karena mereka adalah keturunan nabi Adam. Inilah pendekatan sosiologi dan antropologi oleh wali songo.






C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Melihat bagian kecil fenomena-fenomena tersebut tampaknya perlu dipahami permasalahan dan apa saja faktornya sehingga masalah seperti ini bisa menjadi perpecahan yang serius. Baik itu antara Pelaku, Industri, kebudayaan, maupun para pejabat-pejabat yang merasa risih dengan hal-hal tersebut. Melihat tingkat sosial yang terjadi, tampaknya ada beberapa faktor yang kuat untuk mempengaruhi hal-hal  tersebut, di antara lain :

1.      Pola Hidup Masyarakat
Dalam fenomena-fenomena yang terjadi, warisan-warisan leluhur yang semakin menjadi bahan kotradiktif dalam realita kehidupan, mengapa dan apa setidaknya dapat terjawab jika dikaji melalui pola hiup masyarakat yang semakin berkembang dan berubah-ubah. Modernisasi begitu kencang karena banyaknya input dari luar sehingga mengubah cara berpikir masyarakat lokal.
2.      Otonomi Daerah
Beberapa masalah terletak pada manusia yang menjabat dalam struktural kota yang memiliki kuasa dalam ruang lingkup yang lebih kecil seperti daerah atau propinsi. Hal ini menjadi semacam”habbit” ketika seseorang silih berganti menjadi pejabat. Dan pada akhirnya kesenian merupakan wilayah eksploitasi dalam hal propaganda. Dan ini semakin merumitkan bahwa Indonesia memiliki ribuan ragam budaya dalam satu kesatuan Republik. Ketidak merataan ini menjadikan tubuh daerahnya menjadi belang satu sama lain. Yang berarti tidak seragam dalam pemerataan kualitas seni budayanya tersebut.
3.      Teknologi
Ironisnya kita membutuhkan tekhnologi yang masuk ke negara ini, tetapi semakin banyak digandrungi oleh masyarakat lokal, maka setidaknya persentase penyuka kebudayaan memudar dengan sendirinya lambat laun. Karena proses intern yang terjadi pada masyarakat tersebut mulai membentuk pada masing-masing.
4.      Pengaruh Agama
Agama Islam khususnya sangat berani menyetir etika kebudayaan dengan berpegang teguh pada aturan-aturan agama. Ironisnya agama yang tercantum pada negara  Indonesia sekarang ini merupakan agama-agama yang datang dari luar awalnya. Pada awalnya sebuah akulturasi, tapi semakin menggeser menjadi keramat. Melihat tokoh-tokoh masyarakat yang protes mengenai kesenian lokal dengan membawa agama sebagai landasan, Islam seolah terlalu peduli dalam wilayah etika seni budaya.

Sekian makalah pendek ini. Semoga kita semua bisa berkaca dan tidak mengulang kesalahan yang sama dimasa-masa mendatang. Masa kita kalah dengan wali songo yang dulu belum ada ilmu sosiologi dan antropologi yang secanggih sekarang. Semoga para pemimpin kita belajar ilmu sosiologi dan antropologi, tidak cuma mempelajari ilmu politik saja.













Sumber :
Leaflet/brochure Taman Budaya Jawa Barat

Author

Written by Admin

Aliquam molestie ligula vitae nunc lobortis dictum varius tellus porttitor. Suspendisse vehicula diam a ligula malesuada a pellentesque turpis facilisis. Vestibulum a urna elit. Nulla bibendum dolor suscipit tortor euismod eu laoreet odio facilisis.

0 comments: