GEJALA KEPUNAHAN SENI PERTUNJUKAN TRADISI DI JAWA
BARAT
OLEH POLITIK AGAMA PADA ERA
REFORMASI
A. Pendahuluan
Sudah menjadi kewajaran
sebuah kebudayaan bukanlah statis, melainkan bersifat dinamis. Kebudayaan tidak
pernah mandeg, dia selalu berkembang mengikuti kemajuan jaman. Begitu juga seni
mengalami perkembangan menyesuaikan juga dengan situasi dan kondisi jaman yang
terus melaju. Sebab seni merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu
1) Sistem kepercayaan, 2) Sistem pengetahuan. 3) Perlengkapan hidup
manusia, 4) Sistem ekonomi (Mata pencaharian), 5) Sistem kemasyarakatan, 6)
Bahasa, 7) Seni. (Koentjaraningrat: 1990: 203).
Seni yang bisa menyesuaikan jaman akan terjaga eksistensinya. Sedangkan seni
yang tidak bisa menyesuaikan perkembangan zaman tinggal menunggu waktu
kepunahannya. Gejala kepunahan seni ini terasa sekali pada jenis seni tradisi
terutama seni pertunjukan tradisi.
Di Jawa Barat, seni
pertunjukan tradisi yang bisa beradaptasi dengan perkembangan jaman menggunakan
filsafat : ngindung ka waktu, ngabapa ka
jaman. Kesenian tradisi yang bisa bereksistensi ini terutama jenis kesenian
helaran seperti Kuda Ronggeng, Sisingaan. Atau kesenian tradisi yang bisa
dibuat berbau pariwisata. Sedangkan kesenian tradisi yang sifatnya religi susah
untuk mengikuti perubahan jaman. Karena kesenian ini menggunakan pakem-pakem
yang ketat dan tidak mau melanggar pakem-pakem tersebut. Takut kualat kalau
melanggar. Contoh kesenian jenis ini adalah Tarawangsa Cibalongan dari
kabupaten Tasikmalaya.
Di era reformasi,
setelah bergulirnya demokrasi dan otonomi daerah, keberadaan seni pertunjukan
tradisi bagaikan dua sisi mata uang yang saling bertentangan. Satu sisi bisa
jadi menguntungkan, satu sisi bisa jadi merugikan. Satu sisi yang menguntungkan
adalah kebijakan otonomi daerah yang membuat setiap daerah otonomi memunculkan
identitasnya yaitu seni budaya daerah masing-masing. Sedangkan sisi yang
merugikan adalah munculnya politik agama yang cenderung sempit wawasan sosiologi
antropologi terhadap seni budaya daerahnya.
Era reformasi adalah
era demokrasi yang mengedepankan otonomi daerah. Setiap daerah otonomi
(kabupaten/kota) mempunyai wewenang mengelola daerahnya masing-masing yang
lebih besar di banding jaman Orde Baru. Dan setiap daerah otonomi berhak juga
memilih kepala daerah masing-masing. Tentu saja kepala daerah ini ditentukan
melalui mekanisme demokrasi yaitu pilkada. Dan sebagian besar yang menjadi
kepala daerah ini adalah orang-orang dari kepartaian. Setiap partai mempunyai
ideologi masing-masing. Ketika sebuah partai berbasis agama menguasai atau
memenangi pilkada/pemilu maka terjadilah benturan-benturan dengan seni budaya
khususnya seni pertunjukan tradisi. Benturan-benturan itu ada yang muncul
dipermukaan dan ada yang masih mengendap saja. Benturan-benturan ini mengancam
eksistensi atau keberadaan seni pertunjukan tradisi.
B.
Contoh-contoh Kasus
1.
3G (Geol, Gitek, Goyang) dalam Tari
Jaipongan
Pada Tahun 2009 di bulan Februari, Ahmad Heryawan
menginstruksikan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Herdiwan
agar adanya pembatasan terhadap Tari Jaipong, terutama dalam aspek 3G
(Geol,Gitek,Goyang). Setidaknya mereka menginstruksikan agar ketiak penari
tertutup untuk menghindari unsur gerakan-gerakan tersebut dalam ruang geraknya.
Seperti yang tercatat dalam website Detik.com, bahwasanya dengan menutupi
sedikit, tidak akan mengurangi keindahan tari jaipong itu sendiri.
Hal itu dinilai berlawanan oleh masyarakatnya
sendiri. Hal tersebut dipandang ironis, apabila muncul Surat Keputusan yang
semakin menenggelamkan kesenian tersebut, yang memang pada saat ini sudah mulai
dilupakan. Apalagi sudah menjadi suatu bagian dari identitas sebuah tarian khas
jawa barat. Terutama pada Jaipong Bajidoran yang berkembang di Subang dan
Kerawang.
3G dan busana dimasalahkan oleh Gubernur Jabar,
karena penampakan secara visual tari jaipong menonjolkan aurat. Menurut
hukum Islam, aurat adalah bagian tubuh manusia yang tidak boleh kelihatan.
Pembagian aurat pria dan wanita berbeda. Khususnya aurat wanita meliputi
seluruh tubuh kecuali bagian muka dan telapak tangan. Nah, atas nama norma
agama itulah Gubernur Jabar menghimbau 3G dan busana tari jaipong yang tampak
nyata menonjolkan aurat itu untuk diperhalus. Gubernur tersebut berani melontarkan
himbauan tentunya dilandasi nalar agama, karena berhaluan politik dengan
posisinya sebagai fungsionaris dari sebuah partai politik berbasis agama.
Di tingkat struktural sendiri memang terjadi persepsi wacana yang bertolak
belakang. Gubernurnya memasalahkan tari Jaipong, sedang Wakil Gubernur Dede
Yusuf (latar belakang aktor) malah tidak.
Masyarakat yang menjadi penikmat seni merupakan
kelompok sosial yang heterogen, terdiri dari berbagai golongan, antara lain:
guru seni, kritikus, konglomerat, birokrat, masyarakat awam yang menyukai seni,
dan para seniman itu sendiri. Jika masyarakat yang heterogen itu melihat
pertunjukan, tentu masing-masing golongan akan menghasilkan penafsiran
yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas yang dimilki.
Dosen Tari STSI, Nanu Muda berkomentar Goyang,
gitek, geol (3G) merupakan ruh dari jaipongan. 3G dalam tarian tradisional
sunda tersebut bukan untuk mengumbar seksualitas, namun sebatas teknik tarian.
"Jaipongan adalah ungkapan masyarakat agraris,
ada melak dan ngala (tanam dan memetik). Iramanya lambat atau cepat. Gerakan
lambat wujud kesabaran saat menanam karena harus menunggu agak lama hingga
berbuah, dan gerakan cepat wujud sara syukur. Itu filosofisnya," jelasnya.
Menurutnya orang yang membatasi gerak tarian
jaipongan karena tak tahu dasar filosofisnya. "Goyang itu lambang
kesuburan. Jangan hanya lihat geraknya saja, tapi juga maknanya," tegasnya
pada detik.com
Nanu menyatakan tak perlu ada batasan goyang, gitek,
dan geol para penari. Sebab, dengan sendirinya para penari itu akan
menyesuaikan dengan teks dan konteksnya. "Juga soal pakaian, pasti akan
disesuaikan dengan keadaan saat dia menari," ujarnya.
Menurut Nanu para seniman berkesenian pun berlandaskan estetika dan etika. "Imbauan ini seolah-olah kami para seniman tak tahu sopan santun dan amoral," ketusnya. (Sumber detik.com)
Menurut Nanu para seniman berkesenian pun berlandaskan estetika dan etika. "Imbauan ini seolah-olah kami para seniman tak tahu sopan santun dan amoral," ketusnya. (Sumber detik.com)
2.
Kasus sintren yang disinyalir musrik
Ini
terjadi ketika Istri Gubernur Ahmad Heriyawan, yaitu Hj. Netty, beliau
menghadiri roadshow “Gerakan Membaca” di Gedung Korpri, Cirebon. Saat acara
itu, dipentaskan seni tradisional Cirebon, yaitu Sintren Kathir. Dalam seni itu
ada tarian seorang perempuan, ada beberapa laki-laki dengan memakai kostum
hitam-hitam di sekitarnya, ada peran dukun dan membakar kemenyan. Tentu saja diiringi
musik tradisional Cirebon. Konon, ketika akan berlangsung acara saweran
(melempar uang ke penari), terlontar ucapan Ny. Netty (isteri Gubernur Jawa
Barat), bahwa seni sintren itu musyrik.
Meskipun telah ada klarifaksi dari Ny. Netty tersebut, hal ini masih saja
menjadi perdebatan bahwa kesenian-kesenian warisan leluhur yang selalu menjadi
pertentangan dengan pola kehidupan masyarakat yang semakin berkembang.
3.
Kasus berikutnya adalah seni Tarawangsa Cibalongan.
Kasus seni Tarawangsa Cibalongan ini benturannya
memang belum muncul dipermukaan tetapi gejala benturannya terasa mengantar
kepunahan tinggal menunggu waktu. Gejala kepunahan seni ini dipicu oleh dua hal
yaitu pertama; seleksi alami, kedua; pemerintah membiarkan atau mencue’kannya.
Sebab pertama seleksi alami yaitu regenerasi yang gagal sehingga putus tali
kesinambungan seni tarawangsa ini. Karena mereka generasi terakhir terutama
seniman yang memegang waditra (alat musik) tarawangsa dan jentreng yang
sekaligus sebagai penembang adalah berusia tua rata-rata 80-an umurnya dan
tidak ada generasi muda penerusnya. Saat penulis menonton kesenian Tarawangsa
Cibalongan di Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat pada hari Sabtu tanggal 9
Juni 2012 melihat para pemegang alat musiknya sudah berumur semua, cuma para
penarinya saja yang masih muda. Menurut Agus AW budayawan Tasikmalaya
mengatakan bahwa anak muda yang mengikuti atau meneruskan kesenian ini tidak
pada kuat mengikuti syarat-syarat yang diajukan oleh kokolot untuk menjadi
seniman tarawangsa ini.
Kedua pemerintah daerah membiarkan kesenian
Tarawangsa Cibalongan ini dan tidak ada upaya-upaya menjaga eksistensi kesenian
ini. Kenapa sampai terjadi pembiaran ini? Menurut Agus AW karena kesenian
tarawangsa Cibalongan ini tidak sesuai dengan visi misi Kabupaten Tasikmalaya
yang religius Islami. Kesenian Tarawangsa yang “memuja” Dewi Sri yaitu dewi
padi dianggap tidak sesuai dengan visi misi kabupaten Tadikmalaya tersebut.
Memang kesenian Tarawangsa ini berasal dari tradisi sebelum Islam masuk ke
tanah Pasundan. Dimana masyarakat jaman dulu di tanah Pasundan percaya bahwa
padi berasal dari Dewi Sri. Maka diadakannya upacara ritual setelah panen
sebagai rasa syukur kepada pencipta padi yaitu Dewi Sri. Hal ini dianggap
menyalahi ideologi agama Islam, maka ridak perlu dilestarikan kesenian ini.
Dengan demikian melihat kondisi ini kira-kira 20 tahun ke depan seni Tarawangsa
ini bisa diprediksi punah.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di
beberapa daerah tertentu di Jawa Barat. Yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang),
Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes
(Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah,
seni Tarawangsa yang disajikan menggunakan alat atau instrumen tarawangsa, jentreng, dan dua buah calung renteng. Panembang atau penyanyi dibawakan oleh seorang perempuan yang
sekaligus memainkan jentreng. Sedangkan
dalam kesenian Tarawangsa yang berasal dari daerah Rancakalong Sumedang dan
beberapa tempat lainnya tidak menggunakan instrumen calung renteng.
Kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan berisi tentang
persembahan atau penghormatan terhadap Dewi Sri atau dewi padi, kepada alam,
dan terhadap kehidupan itu sendiri. Nada-nada yang dimainkan dalam kesenian
tersebut cenderung tetap atau ostinato dan
berisi pengulangan atau repetisi secara terus-menerus. Hal demikian mampu
menjadikan manusia memasuki wilayah trance
jika menyaksikan pertunjukan kesenian tersebut secara langsung dan larut di
dalamnya. Tari-tarian yang disuguhkan menyiratkan tentang isi atau makna yang
sangat mendalam, termasuk eksistensi dari kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan
kini.
Yang menjadi kekhawatiran di sini adalah eksistensi
dari kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan. Kesenian tersebut tidak
teregenerasi dengan baik, bahkan nyaris punah. Selain ketidaktertarikan
generasi muda di daerah terkait terhadap kesenian Calung Tarawangssa
Cibalongan, pemerintah setempat pun mempunyai kebijakan dalam penghapusan
unsur-unsur agama non Islam pada berbagai bentuk kesenian. Memang pada kenyataannya,
kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan memiliki muatan tentang penghormatan
terhadap Dewi Sri atau dewi padi, seperti pada kesenian Tarawangsa pada
umumnya. Dan hal tersebut tidak sesuai dengan syariat agama Islam yang dianut
oleh masyarakat kabupaten Tasikmalaya kini.
Walaupun demikian, kesenian tetaplah kesenian, ia
berdiri utuh secara integral. Seharusnya pemerintah kabupaten Tasikmalaya lebih
bijak dalam menyikapi persoalan eksistensi kesenian Calung Tarawangsa
Cibalongan tersebut. Perbedaan keyakinan dan perbedaan tata cara peribadatan
seharusnya tidak menjadi halangan dalam menjaga keselarasan umat beragama,
begitu pun dalam kesenian. Jika hal yang disampaikan dalam suatu bentuk
kesenian pada intinya memiliki substansi yang baik, maka seharusnya hal yang
baik itu patut dipertahankan. Karena keyakinan beragama merupakan hal yang
sangat pribadi yang dimiliki oleh setiap manusia, tidak bisa dipaksakan dari
satu individu kepada individu yang lainnya.
Selain itu, peralihan dari masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri menjadi salah satu faktor yang memperkuat tidak
berlangsungnya regenerasi kesenian Calung Tarawangsa Cibalongan di kabupaten
Tasikmalaya. Anak muda lebih senang bekerja di pabrik-pabrik atau pergi ke kota
besar dengan berbagai tujuan ketimbang menjadi petani. Memang pada kenyataannya
menjadi petani di Indonesia tidaklah mudah, terlebih jika hanya menjadi pekerja
atau buruh tani. Berbeda halnya dengan para cukong atau pengusaha tani yang
menumpuk kekayaannya dari hasil keringat buruh tani. Pesatnya kemajuan
teknologi pun semakin memperkuat generasi muda untuk tidak menyentuh kesenian
atau hal-hal yang bersifat tradisional. Sistem kapitalisme yang kini semakin
kuat membuat generasi muda lebih memilih menjadi masyarakat yang konsumtif,
ketimbang menjaga dan mengembangkan apa-apa yang dimiliki atau diwariskan oleh
leluhurnya.
Dan salah satu bukti bahwa kesenian Calung
Tarawangsa Cibalongan memiliki eksistensi yang tidak teregenerasi dengan baik
adalah seperti apa yang terjadi pada pergelaran kesenian tersebut di Taman
Budaya Jawa Barat pada tanggal 9 Juni 2012. Pemain dari kesenian tersebut sudah
tua-tua, walaupun para penarinya masih muda, tetapi terlihat sekali bahwa itu
hanya berupa sentuhan penyajian secara teatrikal, dan bukan merupakan penyajian
unsur-unsur dari kesenian Tarawangsa pada umumnya. Tidak terdapatnya sesaji dan
durasi dari penyajian kesenian tersebut merupakan bukti bahwa pergelaran
tersebut merupakan rekontruksi sebuah teatrikal saja. Atmospere yang dibangun
terasa biasa saja, karena seharusnya pertunjukan kesenian Tarawangsa pada
umumnya harus dilakukan dan disaksikan di tempat yang aslinya ia berada, dengan
segala elemen dan unsur-unsur pendukung kesenian tersebut.
Kalau seandainya kondisi reformasi berjalan seperti
ini yaitu para pemimpin daerah tidak memahami sosiologi dan antropologi serta
kebudayaan daerahnya maka reformasi menciptakan sejarah kepunahan seni
pertunjukan tradisi semakin cepat. Adakah solusinya? Sebetulnya solusinya
tinggal kita membaca ulang sejarah negeri kita, terutama sejarah jaman wali
songo. Jaman wali songo inilah terjadi reformasi seni budaya yang cukup
berhasil. Terciptalah wayang kulit (golek) seperti sekarang ini. Terciptakanlah
gamelan selengkap seperti sekarang ini. Cerita Ramayana dan mahabarata yang
berbau kehinduan direformasi menjadi berideologi keislaman. Hal ini terlihat
dari silsilah wayang yang bermuara pada nabi Adam. Dewa-dewa dijadikan manusia
karena mereka adalah keturunan nabi Adam. Inilah pendekatan sosiologi dan
antropologi oleh wali songo.
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Melihat bagian kecil
fenomena-fenomena tersebut tampaknya perlu dipahami permasalahan dan apa saja
faktornya sehingga masalah seperti ini bisa menjadi perpecahan yang serius.
Baik itu antara Pelaku, Industri, kebudayaan, maupun para pejabat-pejabat yang
merasa risih dengan hal-hal tersebut. Melihat tingkat sosial yang terjadi,
tampaknya ada beberapa faktor yang kuat untuk mempengaruhi hal-hal tersebut, di antara lain :
1.
Pola Hidup Masyarakat
Dalam fenomena-fenomena yang terjadi,
warisan-warisan leluhur yang semakin menjadi bahan kotradiktif dalam realita
kehidupan, mengapa dan apa setidaknya dapat terjawab jika dikaji melalui pola
hiup masyarakat yang semakin berkembang dan berubah-ubah. Modernisasi begitu
kencang karena banyaknya input dari luar sehingga mengubah cara berpikir
masyarakat lokal.
2.
Otonomi Daerah
Beberapa masalah terletak pada manusia yang menjabat
dalam struktural kota yang memiliki kuasa dalam ruang lingkup yang lebih kecil
seperti daerah atau propinsi. Hal ini menjadi semacam”habbit” ketika seseorang silih berganti menjadi pejabat. Dan pada
akhirnya kesenian merupakan wilayah eksploitasi dalam hal propaganda. Dan ini
semakin merumitkan bahwa Indonesia memiliki ribuan ragam budaya dalam satu
kesatuan Republik. Ketidak merataan ini menjadikan tubuh daerahnya menjadi
belang satu sama lain. Yang berarti tidak seragam dalam pemerataan kualitas
seni budayanya tersebut.
3.
Teknologi
Ironisnya kita membutuhkan tekhnologi yang masuk ke
negara ini, tetapi semakin banyak digandrungi oleh masyarakat lokal, maka
setidaknya persentase penyuka kebudayaan memudar dengan sendirinya lambat laun.
Karena proses intern yang terjadi pada masyarakat tersebut mulai membentuk pada
masing-masing.
4.
Pengaruh Agama
Agama Islam khususnya sangat berani menyetir etika
kebudayaan dengan berpegang teguh pada aturan-aturan agama. Ironisnya agama
yang tercantum pada negara Indonesia
sekarang ini merupakan agama-agama yang datang dari luar awalnya. Pada awalnya
sebuah akulturasi, tapi semakin menggeser menjadi keramat. Melihat tokoh-tokoh
masyarakat yang protes mengenai kesenian lokal dengan membawa agama sebagai
landasan, Islam seolah terlalu peduli dalam wilayah etika seni budaya.
Sekian
makalah pendek ini. Semoga kita semua bisa berkaca dan tidak mengulang
kesalahan yang sama dimasa-masa mendatang. Masa kita kalah dengan wali songo
yang dulu belum ada ilmu sosiologi dan antropologi yang secanggih sekarang.
Semoga para pemimpin kita belajar ilmu sosiologi dan antropologi, tidak cuma
mempelajari ilmu politik saja.
Sumber
:
Leaflet/brochure Taman Budaya Jawa Barat
0 comments:
Post a Comment